UNGKAPFAKTA.NET : Harga sembako naik? Ikhlaskan. Upah stagnan? Sabar. Bantuan tak merata? Tawakal. Pemerintah sibuk pencitraan? Husnudzon.
Saking seringnya rakyat dicekoki narasi “ikhlas dan sabar”, miskin pun kini diposisikan sebagai bagian dari spiritualitas. Kalau bisa makan satu kali sehari, itu bukan krisis, itu laku prihatin. Kalau anak putus sekolah karena tak mampu beli kuota, itu bukan ketimpangan digital, itu jalan hidup berbeda. Negara berhasil menyulap statistik buruk jadi motivasi harian ala ustaz TikTok: “Yang penting tetap bersyukur.”
Padahal yang kita butuhkan bukan nasihat sabar, tapi kebijakan yang adil. Tapi siapa peduli?
Bab 1: Menyembah Narasi “Bersyukur”
Bersyukur adalah nilai luhur. Tapi di negara ini, ia berubah jadi senjata ampuh untuk meninabobokan rakyat. Setiap keluhan dibalas dengan kutipan rohani: “Bersyukurlah, masih ada yang lebih susah darimu.”
Sialnya, yang ngomong itu biasanya duduk di kursi empuk, makan dari uang rakyat, dan barangkali belum pernah antre beras murah sejak lahir.
Media dan tokoh agama mainstream ikut memperkuat ini. Tidak ada ruang untuk bertanya “kenapa kami miskin?”, yang ada hanya dorongan untuk “menerima takdir.” Maka keadilan bukan lagi soal sistem, tapi soal iman. Jika miskin, itu bukan karena kebijakan yang timpang, tapi karena kurang sabar.
Bab 2: Bansos sebagai Candu Keikhlasan
Rakyat dimiskinkan secara struktural, lalu dikasih bansos musiman. Macam orang ditusuk, lalu dikasih plester dan disuruh berterima kasih. Bansos bukan jaring pengaman, tapi panggung pencitraan. Isinya kadang tak sebanding dengan upaya selfie pejabat saat membagikannya.
Bansos bukan solusi, tapi candu. Ia melahirkan ketergantungan politik dan mendorong rakyat masuk ke zona nyaman: “Toh kalau susah juga nanti dikasih sembako.” Maka, miskin pun tidak lagi harus dilawan, cukup ditunggu momen pencoblosan agar bisa dapat beras 5 Kg dan kaus oblong partai.
Bab 3: Dari Lahan Subur ke Swasta Besar
Tanah kita kaya, petani kita terbilang rajin, tapi hasilnya tidak dinikmati rakyat. Pemerintah mengundang investor masuk lewat jalur karpet merah, tapi membiarkan petani jalan kaki ke kantor kecamatan hanya untuk dapat pupuk yang sudah habis.
Alih fungsi lahan terjadi masif. Dari sawah ke pabrik, dari kebun ke perumahan elit. Pemerintah menyebutnya pertumbuhan, rakyat menyebutnya penggusuran diam-diam.
Dan ketika petani bangkrut, narasinya kembali klasik: “Harus adaptif.”
Adaptif ke mana? Ke aplikasi pinjol?
Bab 4: Pendidikan Mahal, tapi Diharap Ikhlas Tetap Bodoh
Pendidikan katanya jalan keluar dari kemiskinan. Tapi di sini, sekolah kerap jadi pintu masuk ke utang keluarga. Biaya masuk tinggi, kuota internet mahal, dan guru honorer dibayar murah sambil disuruh kreatif.
Sistem pendidikan mendorong hafalan, bukan pikiran kritis. Lulusan perguruan tinggi pun akhirnya hanya jadi buruh berjas rapi. Dan ketika tak dapat kerja, jawabannya klise: “Buka lapangan kerja sendiri dong, jangan manja.” Padahal untuk modal saja, saldo rekening tinggal prihatin, itu pun sisa transfer emak satu bulan lalu.
Bab 5: Media dan Industri Motivasi: “Kamu Miskin Karena Tidak Produktif”
Media mainstream hobi mewartakan kisah inspiratif orang miskin yang tetap semangat hidup. Seperti nenek-nenek pikul batu demi makan, atau anak sekolah jalan 10 Km setiap hari. Yang harusnya bikin marah malah dijual jadi konten inspirasi. Penderitaan dibingkai sebagai tanda kekuatan mental, bukan kegagalan sistem sosial.
Ditambah para motivator online yang bilang “Kamu miskin karena mindset-mu salah.” Padahal faktanya, banyak orang miskin bukan karena malas, tapi karena sistem sudah mengunci mereka di lingkaran setan sejak lahir.
Bab 6: Negara dan Para Penjaga Status Quo
Elite politik hidup dari narasi pembangunan, tapi enggan membongkar ketimpangan. Kebijakan yang ke luar seringkali untuk memperkuat modal, bukan memberdayakan rakyat. Regulasi dibuat dengan logika investasi, bukan dengan nurani kemanusiaan.
Lembaga negara menjadi showroom, bukan alat koreksi. DPR terlalu sibuk rapat paripurna soal naik gaji, sementara rakyat sibuk nyari promo minyak goreng. Ketika rakyat turun ke jalan, yang datang bukan solusi, tapi pasukan.
Negara tidak gagal, hanya terlalu berhasil menjaga status quo.
Bab Penutup: Merdeka Itu Bukan Sabar Terus, Tapi Melawan Ketimpangan
Ikhlas memang penting. Tapi kalau keikhlasan dijadikan selimut untuk membenarkan kemiskinan sistemik, itu namanya pembodohan kolektif.
Kita tidak butuh lebih banyak sabar, kita butuh lebih banyak keberanian untuk menuntut hak.
Miskin bukan takdir, tapi hasil dari keputusan-keputusan politik. Dan satu-satunya cara melawan itu adalah berhenti menelan narasi “ikhlas” secara mentah. Kita harus bertanya, harus marah, dan harus bergerak.
Ikhlas itu mulia, tapi kalau terlalu sering disuruh ikhlas oleh orang yang hidup mewah, berarti ada yang salah.(*)